MAWI
BERGANTI NAMA KWI
Konferensi
Waligereja Indonesia (KWI atau Kawali) adalah organisasi
Gereja
Katolik
yang beranggotakan para Uskup di Indonesia dan bertujuan menggalang persatuan dan kerja sama
dalam tugas pastoral memimpin umat Katolik Indonesia.
Masing-masing Uskup adalah otonom dan KWI
tidak berada di atas maupun membawahi para Uskup dan KWI tidak mempunyai cabang
di daerah. Keuskupan bukanlah KWI daerah. Yang menjadi anggota KWI adalah para
Uskup di Indonesia yang masih aktif, tidak termasuk yang sudah pensiun. KWI
bekerja melalui komisi-komisi yang diketuai oleh Uskup-Uskup.
Pada 2006, anggota KWI
berjumlah 36 orang, sesuai dengan jumlah keuskupan di Indonesia (35 keuskupan)
ditambah seorang uskup dari Ambon (Ambon memiliki 2 uskup).
Sejarah KWI
Setiap Uskup, karena tahbisannya,
dengan sendirinya menjadi bagian dari jajaran para Uskup sedunia (Collegium
Episcopale) dan bersama dengan para uskup sedunia, di bawah pimpinan Sri Paus, bertanggungjawab atas seluruh Gereja
Katolik.
Para Uskup dalam satu negara bersama-sama
membentuk suatu wadah kerjasama yang dinamakan Konferensi Para Uskup. Di
dalam wadah ini mereka bekerjasama merundingkan dan memutuskan sesuatu mengenai
umat katolik di seluruh negara tersebut.
Seorang uskup adalah pimpinan Gereja setempat
yang bernama keuskupan. Dengan demikian dia disebut juga Waligereja. Karena itu
Konferensi para Uskup di Indonesia disebut Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI)
yang kemudian diubah menjadi Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).
Tahun 1807-1913
Dari tahun 1807 sampai 1902, Gereja Katolik
seluruh Nusantara berada di bawah pimpinan seorang Prefek/Vikaris Apostolik
yang berkedudukan di Batavia. Kendati semenjak tahun 1902, beberapa daerah
sudah dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia (1902 : Maluku-Irian Jaya,
1905 : Kalimantan, 1911 : Sumatera, 1913/1914 : Nusa Tenggara, dan 1919 :
Sulawesi), namun pengakuan dari pihak Pemerintah Kolonial Belanda akan
adanya banyak pimpinan Gereja Katolik di Nusantara baru terjadi pada tahun
1913.
Maka semua Vikaris dan Prefek
Apostolik itu merasa perlu bersama-sama berunding untuk
mencapai kesatuan sikap terhadap Pemerintah dalam banyak persoalan, tetapi
terutama berhubungan dengan kebebasan bagi misi untuk memasuki semua wilayah
dan juga berhubungan dengan posisi pendidikan Katolik.
Tahun 1924
Pertemuan itu baru terjadi pada kesempatan
pentahbisan Mgr. A. Van Velsen sebagai Vikaris Apostolik Jakarta (13 Mei 1924)
di Gereja Katedral Jakarta. Yang hadir pada
waktu itu : Mgr. P. Bos, O.F.M. Cap. (Vik.Ap. Kalimantan), Mgr. A. Verstraelen,
S.V.D. (Vik. Ap. Nusa Tenggara), Mgr. Y. Aerts, M.S.C. (Vik.Ap. Maluku-Irian
Jaya), Mgr. L.T.M. Brans, O.F.M.Cap. (Pref.Ap. Padang) dan Mgr. G. Panis,
M.S.C. (Pref.Ap. Sulawesi).
Pada tanggal 15-16 Mei 1924, diadakan sidang
para Waligereja se-Nusantara yang pertama di Pastoran Katedral Jakarta. Sidang
ini diketuai oleh Mgr. A. Van Velsen dan dihadiri oleh para Waligereja tersebut
di atas ditambah dengan dua orang pastor : A.H.G. Brocker, M.S.C. dan S.Th. van
Hoof, S.J. sebagai nara sumber.
Tahun 1925
Sidang yang kedua diadakan pada tanggal 31
Agustus - 6 September 1925, juga di Jakarta,
dibawah pimpinan seorang utusan Paus Pius X yang
bernama Mgr. B.Y. Gijlswijk, O.P., seorang Delegatus Apostolik di Afrika
Selatan. Kecuali para Waligereja yang disebut di atas, peserta
sidang ini sudah bertambah dengan Mgr. H. Smeetes, SCJ (Pref.Ap.
Bengkulu), Mgr. Th. Herkenrat, S.S.C.C. (Pref.Ap. Pangkalpinang). Hadir juga
Pater Th. De Backere, C.M., Pater Cl. Van de Pas, O.Carm., Pater Y. Hoederechts,
S.J., sedang Pater H. Jansen, S.J. dan Pater Y. Van Baal, S.J. bertugas sebagai
sekretaris. Dalam sidang ini diputuskan untuk mengadakan sidang setiap lima
tahun sekali.
Tahun 1929
Sidang
ketiga, 4-11 Juni 1929 di Muntilan (dihadiri oleh 10 Waligereja)
Tahun 1934
Sidang
keempat, 19-27 September 1934 di Girisonta (juga dihadiri
oleh seorang pastor dari Centraal Missie Bureau atau Kantor
Waligereja)
Tahun 1939
Sidang
kelima, 16-22 Agustus 1939 juga di Girisonta (15 Waligereja dan tiga orang dari
CMB serta seorang Delegatus Apostolik untuk Australia: Mgr. Y. Panico).
Tahun 1940-1953
Karena
adanya perang, sidang para Waligereja Indonesia tidak dapat diadakan.
Tahun 1954
Pada
tanggal 26-30 April 1954 para Waligereja se-Jawa mengadakan pertemuan di
Lawang. Di sana diungkapkan keinginan untuk mengadakan konferensi baru semua
Waligereja. Sebuah rancangan anggaran dasar yang disusun oleh Mgr. W.
Schoemaker M.S.C. (Uskup Purwokerto).
Tahun 1955
Rancangan anggaran dasar disetujui oleh
Internunsius di Jakarta pada tanggal 31 Januari 1955. Tanggal 14 Maret 1955
Mgr. W. Schoemaker M.S.C. diangkat oleh Internunsius menjadi ketua sidang MAWI
yang akan datang. Sidang itu dapat dilaksanakan pada tanggal 25 Oktober sampai
2 November 1955 di Bruderan, Surabaya dan dihadiri oleh 22 orang Waligereja
(dari 25 orang Waligereja yang ada). Inilah sidang Konferensi para Uskup dari
seluruh Indonesia yang pertama sesudah perang.
Salah satu keputusan yang penting ialah bahwa
untuk selanjutnya konferensi para Waligereja Indonesia ini dinamakan Majelis
Agung Waligereja Indonesia, disingkat MAWI, suatu terjemahan dari Raad van
Kerkvoogden. Tanggal inilah dipandang sebagai tanggal berdirinya MAWI. Di
samping sidang lengkap, diputuskan untuk mendirikan sebuah sidang kecil yang
tetap, untuk melaksanakan tugas harian, yang dinamakan Dewan Waligereja
Indonesia Pusat, disingkat DEWAP, yang diketuai oleh Mgr. A. Soegijapranata, S.J. (Uskup Semarang).
Untuk memperbaiki pelaksanaan tugasnya,
dibentuklah berbagai "Panitia" / PWI (Panitia Waligereja Indonesia)
yang menjadi anggota DEWAP (diputuskan bahwa DEWAP bersidang sekali setahun)
dan yang menangani salah satu bidang pelayanan: PWI (Panitia Waligereja
Indonesia) Sosial, PWI Aksi Katolik dan Kerasulan Awam, PWI Seminari dan Universitas,
PWI Pendidikan dan Pengajaran Agama, PWI Katekese Umat dan Penyebaran Iman,
PWI Pers dan Propaganda. Diputuskan bahwa DEWAP bersidang sekali setahun.
Tahun 1960
Sesudah
Indonesia merdeka jumlah orang Katolik Indonesia meningkat pesat. Sedemikian
pesat perkembangan jemaah Katolik Indonesia, sehingga dalam sidang di
Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah (9-16 Mei 1960) para Uskup Indonesia menulis
surat kepada Bapa Suci Yohanes XXIII, memohon secara resmi agar beliau
meresmikan berdirinyaHirarki Gereja di
Indonesia. Maka dengan Dekrit "Quod Christus Adorandus" tertanggal 3 Januari 1961 Paus Yohanes
XXIII meresmikan berdirinya Hirarki Gereja di Indonesia.
Tahun 1960-1970-an
MAWI
mengadakan sidang-sidang paripurna pada tahun 1960, 1965, 1968 dan 1970. Selama
periode ini banyak terjadi perbaikan-perbaikan pada cara kerja dan struktur
organisasi MAWI. Sejak 1970 Sidang para Waligereja diadakan setiap tahun.
Biasanya jatuh pada bulan November di Jakarta.
Tahun 1987
No comments:
Post a Comment